Tuesday 3 March 2009

What is a Good Design?

Sebagai desainer terkadang sulit untuk memberikan justifikasi atas desain yang dihasilkannya. Yang penting adalah ‘enak dilihat’. Sedang dari sisi pelaku pemasaran dan komunikasi, mereka mengalami kesulitan apakah kapan desain dianggap selesai dan akan sukses untuk kebutuhan komunikasi mereka. Dari sisi publik, ada desain yang begitu susah dan rumitnya dijelaskan filosofinya. Ada desain yang mudah dicerna dan ‘feels right’. Tapi cukup banyak pula desain yang kelihatan ‘nggak nyambung’ dengan apa yang dikomunikasikannya.

DESAIN SEBAGAI PROSES
“Good design is not about the result, it’s when everybody involved feels good about it”
Kutipan ini sangat representatif di dalam mendeskripsikan tugas seorang desainer.
Hal yang sangat krusial di dalam desain adalah pertanyaan
Proses >< Hasil , manakah yang lebih penting? Apakah hasil karya desain berawal dari rancangan yang self-indulgence yang dicari justifikasinya atau memang merupakan solusi atas kebutuhan komunikasi?

Pendekatan terhadap desain sebagai proses akan melibatkan desainer dan klien dalam satu konteks yang sama, yakni sama-sama bertujuan mengekspresikan perusahaan/produk dan berkomunikasi kepada publik. Kesepakatan ini memberikan konsekuensi bagi kedua pihak untuk melakukan diskusi intensif dan mendefinisikan kebutuhan komunikasi dengan jelas. Jika perlu klien dan desainer terlibat di dalam proses brainstorming bersama-sama. Kemudian dari gagasan-gagasan tersebut dikembangkan menjadi solusi desain.
Yang dinilai oleh klien bukanlah hasil desain semata, tetapi proses berpikir dan seluruh pengalaman dari desainer untuk mampu menghasilkan karya.

DESAIN SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI
Pada komunikasi, konsep positioning dan diferensiasi sudah sangat dikenal oleh para pemasar. Singkatnya, di dalam satu kategori brand, benak kita sulit mengingat lebih dari 2 atau 3 brand di setiap kategori, misalnya di film ada Fuji dan Kodak, di ayam goreng ada KFC dan Suharti. Yang diingat orang bukanlah kesamaan Fuji dan Kodak, tetapi perbedaannya. Fuji cocok untuk outdoor, Kodak cocok untuk indoor. KFC adalah ayam impor, Suharti ayam kampung.

Hal ini bisa diterapkan secara sederhana di dalam dunia desain. Jika semua perusahaan teknologi menggunakan garis-garis yang solid dan warna biru, Lucent menggunakan logo bulat dalam bentuk sapuan kuas dengan warna merah. Kenapa? Agar mudah diingat!

Warna biru di kategori bank saat ini milik BCA, kombinasi warna merah biru adalah Lippo, gradasi biru ke putih Citibank, pita biru adalah Bank Mandiri. Oleh karena itu Danamon perlu mengklaim warna orange dan kuning. Warna hijau di film milik Fuji dan warna kuning milik Kodak, sehingga Konica memilih warna biru. Warna adalah salah satu elemen yang paling kuat untuk di-recall karena warna sangatlah emosional daripada bentuk. Oleh karena itu gunakan warna sebagai atribut yang paling awal untuk didefinisikan.

Lakukan analisa terhadap kompetitor, kategori produk, brand dan dari situ bisa diambil strategi diferensiasi yang akan membedakan kita dengan pesaing. Bentuk swoosh sudah terpatri ke dalam benak kita sebagai Nike. Sangat banyak brand me-too yang berusaha memplesetkan bentuk ini ke dalam logonya. Mengapa tidak melakukan strategi diferensiasi ketimbang imitasi? Tetapi jika memang strateginya adalah imitasi, mungkin ini adalah jalan yang bisa ditempuh. Hal ini kembali kepada strategi, apa yang ingin dikomunikasikan.

SIMPLIFY! SIMPLIFY! SIMPLIFY!
Pada dasarnya, otak manusia akan berusaha mencari pola dari setiap bentuk yang ditemuinya. Ini yang menyebabkan anak kecil sulit membedakan bola dan balon, tetapi mereka bisa tahu bulatan merah besar dan bulatan hijau kecil sebagai bola.

Yang disimpan di dalam otak kita adalah simbol, bukan detail dari objek. Wajah manusia hanya disimpan sebagai lingkaran dan 2 titik di dalamnya, bukan kerut atau bentuk hidung dan mulut. Oleh karena itu kita bisa mengingat bahwa logo Nike dengan mudah karena bentuknya sederhana, tetapi kita sulit untuk menggambar Garuda Pancasila padahal kita sudah melihat, menghafalkan dan memasangnya di mana-mana. Ini terbukti saat kita diminta menggambar ulang kedua bentuk ini.

KLIEN - DESIGNER - PUBLIK
Bagi seorang desainer, siapa klien sebenarnya? Apakah klien yang memberikan project ataukah publik yang nantinya akan menikmati hasil rancangan desain? Jawabannya adalah keduanya!
Klien harus bangga atas hasil rancangan yang mereka miliki yang dianggap mampu merepresentasikan siapa mereka.

Publik juga harus bisa membaca desain tanpa ada si desainer yang berusaha menjelaskan filosofi kepada setiap orang.
Tantangan yang dihadapi oleh desainer adalah menjembatani kedua kepentingan ini. Saat melakukan diskusi dengan klien, desainer perlu menjadi katalisator yang mampu membaca keinginan klien dan sekaligus tetap bertanggung jawab kepada publik.

TIPS MENGEVALUASI DESAIN
Ini adalah beberapa teknik sederhana untuk mengevaluasi desain:

Lihat adanya kontras atau laras. Metode paling mudah adalah menggunakan laras, di mana digunakan warna senada dan kombinasi tipografi yang satu keluarga.
Selain itu juga bisa digunakan kontras, seperti warna komplemen dan kombinasi tipografi yang sama sekali berbeda (sans serif dan serif misalnya).
Keduanya akan menghasilkan emosi yang berbeda, laras terlihat lebih statis dan harmonis sedang kontras menampakkan dinamika.

Letakkan karya secara terbalik.
Di sini kita akan melihat karya sebagai karya visual tanpa makna.
Logo akan terlihat sebagai bentuk dan tidak kita baca artinya. Perhatikan komposisi, warna, jarak antar huruf, tampilan logo.

Tutup logo dengan tangan.
Lakukan penilaian apakah hadirnya logo membuat desain lebih baik atau malah sebaliknya.
Tutup mata dan visualkan logo di dalam benak.
Di sini kita mengetahui apakah logo mudah diingat. Coba gambar ulang logo tanpa melihat gambar asli, semakin mudah Anda menggambarnya, makin mudah bagi orang lain untuk mengingatnya.

Edarkan desain kepada orang-orang yang tidak mengikuti prosesnya.
Dengan cara ini kita akan jujur terhadap pengalaman, konotasi, dan selera publik. Lakukan ini dengan hati-hati dan gunakan sebagai panduan, bukan satu-satunya tolok ukur keberhasilan

No comments:

Post a Comment